Header Ads

Akhir dari Toleransi



Lagi. Itulah kata yang tepat untuk kasus kerusuhan yang melanda negeri ini. Beberapa rentetan kerusuhan terjadi dalam beberapa bulan ini. Baik di pedesaan mau pun di perkotaan, kerusuhan atau bahkan tawuran kerap menghampiri bumi Garuda Pancasila. Pemicunya bermacam-macam dan terjadi di berbagai tempat. Misalnya tawuran yang terjadi di daerah Galur dan Salemba Tengah, Senen, Jakarta Selatan pada 19 Agustus 2012. Kejadian ini dipicu oleh aksi konvoi kendaraan roda dua dengna melempari petasan sambil melintas di depan warga sekitar. Akibatnya, penduduk sekitar tersulut emosinya lantas kedua belah pihak bersitegang dan tawuran. 

Masih kasus yang sama, tawuran lainnya terjadi di Minahasa Selatan (MinSel), Sulawesi Utara. Perkelahian antara dua kelompok di MinSel ini yaitu kelompok pemuda dari Desa Makaaruyen dan Desa Wullurmaatus ini dipicu karena adanya penikaman yang dilakukan seorang warga desa Makaaruyen terhadap warga desa Wullurmaatus pada acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI 17 Agustus 2012. Tak terima dengan penikaman tersebut, pemuda Desa Wullurmaatus melakukan aksi balas dendam dengan menyerbu Desa Makaaruyen, Rabu (22/8/2012). Aksi baku hantam pun akhirnya pecah di perbatasan kedua desa. (Sumber)

Sungguh ironis bukan? Kasus pertama terjadi pada 19 Agustus 2012 pukul 02.30 WIB (malam takbiran) yang paginya umat Muslim akan merayakan hari raya Idul Fitri. Entah maksudnya apa konvoi yang dilakukan dini hari dengan melempar petasan itu. Yang jelas aksi tersebut sebenarnya sangat meresahkan warga. Bagaimana tidak? Di saat umat Muslim sedang khidmat mengumandangkan gema Takbir, sekelompok orang malah membuat kebisingan dengan melakukan konvoi dan melempar petasan. Apakah itu yang disebut menyambut datangnya hari raya Idul Fitri? 

Yang sangat memprihatinkan, adanya aksi penikaman pada saat merayakan HUT republik tercinta ini,17 Agustus 2012. Apa maksudnya? Apa itu cara kita meneladani dan mengaplikasikan perjuangan para pahlawan?

Masih terkait tindak kekerasan, sengketa tanah juga tidak lepas dari kata kerusuhan dan pertikaian. Tercatat antara bulan Januari-Juli terdapat 25 kasus sengketa tanah di Jawa Timur berunjung pada kata bentrok, sengketa tanah tersebut terjadi antara TNI dengan warga. Baru-baru ini sekitar pertengahan Desember sengketa tanah di Jawa Timur kembali terjadi antara TNI dengan rakyat yang memperebutkan tanah seluar 84,43 hektare di Sukorejo Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember.

Bahkan tidak sedikit kerusuhan yang terjadi dengan mengatasnamakan agama. Di Sampang, Madura, Jawa Timur telah terjadi tindak kekerasan terhadap penganut paham salah satu agama. Peristiwa ini terjadi karena perbedaan paham dalam menganut ajaran agama.  Tidak lupa kerusuhan selama bertahun-tahun di Poso, Sulawesi Tengah antara warga yang berbeda agama. Entah siapa yang memulai dahulu, yang jelas konflik tersebut berujung pada kerusuhan, pertikaian, bentrokan, luka-luka, atau bahkan tewas mengenaskan. Penulis yakin setiap agama pasti mengajarkan kedamaian, mengutamakan sikap toleransi dan prinsip persaudaraan (saling kasih) seagama, persaudaraan (saling kasih) sebangsa, dan persaudaraan (saling kasih) sesama manusia.

Belum lagi tawuran antar pelajar (SMP dan SMA/K) atau mahasiswa di beberapa tempat di penjuru negeri ini. Selain itu ada juga sekelompok warga yang berebut lahan parkir, dan organisasi masyarakat yang ‘biasanya’ melakukan kerusakan-kerusakan ruko di sepanjang jalan. Terlebih aksi premanisme dari para geng motor yang selalu meresahkan warga.

Tak luput dari perhatian, bentrokan antar suporter tim sepak bola di liga Indonesia juga kerap mewarnai aksi anarkisme. Sikap fanatisme berlebihanlah yang memicu terjadinya bentrokan antar suporter, tak ketinggalan para pengurus dan pejabat klub sampai badan yang menaungi persepakbolaan Indonesia pun ikut andil meramaikan kekisruhan yang menerjang cabang olah raga yang satu ini. Jika kita bergeser sedikit ke dalam ranah pemerintahan, pasti kita sering mendengar para anggota legislatif yang bersitegang dan bermuara pada adu ‘jotos’ demi mempertahankan pendapat atau kepentingan kelompoknya.

Dari kasus-kasus di atas sepertinya perlu kembali kita renungkan hakikat TOLERANSI yang diajarkan di bangku Sekolah Dasar (SD). Apa kita harus mengulang dan bersekolah kembali di bangku SD agar selalu mengingat TOLERANSI untuk diterapkan? Lantas, siapa yang diuntungkan dan disalahkan dari peristiwa-peristiwa di atas? APAKAH PERISTIWA-PERISTIWA TERSEBUT MENANDAKAN BAHWA TOLERANSI SUDAH MATI? APAKAH UJUNG DARI TAWURAN, BENTROKAN, KERUSUHAN AKAN MENGHASILKAN KEBAHAGIAAN ATAU KESEJAHTERAAN?

Dengan segala kerendahan hati dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim (red.do’a) mari kita BELAJAR menghayati kembali sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain supaya TOLERANSI dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah sepatutnya sebagai warga negara yang baik kita harus menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa sebagai wujud dari Satu Bangsa, Satu Tanah Air, dan Satu Bahasa, yaitu Indonesia. Semoga negeri agraria ini benar-benar mewujudkan semboyan-semboyan seperti Gemah Ripah Loh Jinawi, Soempah Pemoeda, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Tulisan ini dipublikasikan di situs Okezone.

2 komentar:

Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejaknya dengan komentar.
Komentar berbau SARA akan diedit atau bahkan dihapus.
Indonesia damai itu indah. Salam bloger. :D

Diberdayakan oleh Blogger.