Pernikahan ; Antara Sunnah, Status Sosial, dan Nafsu
Di
beberapa media massa - cetak maupun elektronik - dikabarkan bahwa ada seorang
pejabat yang menikahi seorang gadis secara ‘kilat’. Perkawinan tersebut menjadi
ramai diperbincangkan karena kabarnya usia ikatan sakral itu hanya berlangsung
selama empat hari saja. Tak heran memang jika berita tersebut menjadi santapan
hangat bagi penikmat informasi.
Pernikahan
pada umumnya dilangsungkan apabila seseorang (dalam hal ini pria) sudah cukup
mampu dan siap, baik secara lahir maupun batin. Ketika seseorang sudah mencapai
kedua kategori tersebut biasanya siap untuk menjalankan pernikahan. Terlebih jika
ia memiliki tingkatan tinggi dalam status sosial, baik itu pengusaha, artis,
pejabat, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama.
Tampaknya
ada beberapa orang yang memanfaatkan ‘kesempatan’ tersebut. Tidak heran jika
pejabat yang sudah beristri pun melakukan pernikahan (sirri) karena
punya modal status sosial tersebut. Seperti kasus pernikahan ‘singkat’ salah
satu bupati di provinsi Jawa Barat dengan seorang gadis. Entah apa yang ada di
benaknya. Apakah ia butuh pendamping yang jauh lebih muda usianya agar ia
setidaknya bisa terhibur di tengah beban tugas yang dipikul seorang bupati
untuk mengurusi dan memikirkan ribuan rakyatnya. Ataukah rumah tangga yang
telah dibina dengan istri sebelumnya mengalami ketidakharmonisan sehingga ia
memutuskan untuk melangsungkan pernikahan lagi? Menurut kabar, sang bupati
menceraikan pernikahan yang berusia empat hari dengan gadis itu hanya melalui
pesan singkat (SMS). Yang jelas, pernikahan ‘kilat’ tersebut berujung menjadi
masalah dan perselisihan, baik pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut
maupun pihak yang tidak bersangkutan.
Berita
lainnya juga dialami salah satu pesulap (artis) tersohor yang menikah lagi. Istrinya
merasa tidak terima dengan perbuatannya dan melaporkannya kepada pihak berwajib
dengan tuduhan perzinaan. Namun, pesulap ini membantahnya dan mengaku telah
menikah sirri (secara agama), karena sebelumnya ia sempat meminta izin
pada istrinya untuk menikah lagi. Alasannya menikah lagi karena istrinya sudah
tidak dapat menjalani kewajibannya sebagai seorang istri yang baik.
Padahal,
perihal pernikahan sudah termaktub dalam al-Qur’an dan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dijelaskan dalam Undang-undang tersebut Pasal 1
bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Adapun seorang
suami yang hendak memiliki istri lebih dari satu (poligami) juga sudah
dijelaskan dalam Undang-undang tertulis dalam pasal 4 dan 5.
Sementara
dalam al-Qur’an tentang perintah menikah terdapat pada surat An-Nisa ayat 3 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(Berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam melayani istri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami
dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan
pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang saja.),
An-Nuur
ayat 32 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.” (Maksudnya: hendaklah
laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu
agar mereka dapat kawin.).
Hidup
berkeluarga merupakan perbuatan yang tidak berlawanan dengan kerasulan dan
merupakan sunnahnya para rasul yang tertuang dalam al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat
38 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan
tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan
dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu).”
(Tujuan ayat ini ialah pertama-tama untuk membantah ejekan-ejekan
terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dari pihak musuh-musuh beliau, karena hal itu
merendahkan martabat kenabian. Keduanya untuk membantah pendapat mereka bahwa
seorang rasul itu dapat melakukan mukjizat yang diberikan Allah kepada
rasul-Nya bilamana diperlukan, bukan untuk dijadikan permainan. Bagi tiap-tiap
rasul itu ada Kitabnya yang sesuai dengan keadaan masanya.)
Poligami
memang dibolehkan dalam Islam apabila nusyuz telah terjadi. Nusyuz ialah
meninggalkan kewajiban bersuami-istri. Nusyuz dari pihak istri contohnya istri
meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya. Dalam Undang-undang pun telah
dijelaskan bahwa seorang suami boleh menikah lagi apabila istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri; istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan istri tidak dapat melahirkan
keturunan, hal ini tertuang dalam pasal 4 ayat 2. Dijelaskan juga dalam pasal 5
ayat 1 bahwa poligami boleh diajukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: a. adanya persetujuan dari istri/itri-istri; b. adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka; dan yang paling penting c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Kedua
pedoman tersebut (al-Qur’an dan Undang-undang) dapat dikatakan sia-sia apabila
seorang suami hanya mengandalkan nafsunya saja. Status
sosial yang tinggi ternyata juga dapat memicu hasrat seorang suami untuk
menikah lagi. Akan tetapi, poligami dapat dihindari apabila kita benar-benar
memahami kandungan dalam al-Qur’an dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang memiliki beberapa syarat dan ketentuannya. Tentu kita dapat
mempertimbangkan risiko yang akan terjadi apabila poligami dipraktikan di
kehidupan nyata kita.
Ciputat, 25 Desember 2012
poligami itu dibolehkan tapi dengan memenuhi syarat-syarat yg telah ditentukan, walaupun bahwa dalam pelaksanaannya kadang tidak terpenuhi seratus persen karena keterbatasan yg ada
BalasHapus:)
BalasHapus