Akademik, Asmara, dan Asrama
Oleh:
Alunan ayat suci terus keluar dari mulutnya yang
tak akan pernah bosan dilakukan sebagai rutinitas sehari-hari. Ada ketenangan
yang dirasakan pada setiap makhraj yang terlafalkan itu. Setidaknya
minimal setengah jam setelah salat Subuh ia bacakan sehingga setengah jam
kemudian ia bisa melanjutkan aktivitasnya yang lain seperti mandi, merapikan
kamar, atau mengecek ulang persenjataan kuliahnya. Tak lupa beberapa halaman ia
kunjungi untuk sekadar mempertajam kinerja otak dan analisisnya tentang materi
untuk disampaikan di kelas atau sebagai bahan obrolan dengan temannya di
pelataran fakultas. Semangkuk bubur ayam menjadi santapan pagi itu dan dengan
pakaian rapi ia siap untuk berperang dengan argumen-argumen milik teman
kelasnya.
Waktu
lima menit sebelum berangkat ke kampus dirasa cukup untuk menelepon kekasih
pujaan hati di kampung halaman untuk menanyakan kabar atau hal sepele seperti
mandi, sarapan, dan kegiatan apa yang akan dikerjakan hari itu. Wanita yang
telah empat tahun mengisi hari-harinya dengan penuh warna. Jika engkau
memang kanvas putih yang siap dilukis, izinkan aku untuk mewarnaimu dengan
variasi warna yang kumiliki. Tidak gampang melewati masa selama empat tahun
untuk saling menjaga hati yang terpisahkan oleh jarak dan waktu. Seorang
mahasiswi akademi perawatan di kabupaten Pekalongan sudah menetapkan pilihan di
hatinya untuk diisi oleh seorang mahasiswa linguistik perguruan tinggi negeri
di Jakarta. Wahai bunga yang selalu mekar di ribaan kalbu, masihkah kau
semerbak di atas putikmu sehingga merbah akan tetap mencumbumu? Kau mahakarya
yang pernah ku lihat. Aku melihat-Nya ada dalam dirimu.
“Assalamu’alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh”, ia membuka presentasi mata kuliah di kelas.
“Kesempatan
kali ini kita akan berdiskusi tentang A Word and Its Parts; Roots, Affixes
and Their Shapes dan kami akan mencoba menyampaikan materi tersebut,
apabila teman-teman memiliki sanggahan, tambahan, dan pertanyaan nanti kami
buka sesi tersendiri. Sebelum beberapa istilah tampak di depan Anda sekalian,
alangkah baiknya saya persembahkan para pemakalah yang lain, Mbah, Letnan, Cak,
dan saya sendiri Gus.”
“Morfem
merupakan partikel terkecil dalam satuan gramatika. Satuan bentuk bahasa
terkecil yang mempunyai makna secara stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian
bermakna yang lebih kecil.”
Banyak
sekali istilah-istilah linguistik keluar dari logat Jawanya, mulai dari istilah
yang ia pinjam dari Odgen dan Richard sampai dengan De Saussure.
Definisi-definisi seperti morfem pun tak mau ketinggalan melayang di
ruangan itu, mulai dari morfem leksikal, morfem gramatikal, morfem
monomorfemis, sampai dengan morfem polimorfemis. Dengan gamblang dan
lancar ia sampaikan materi yang sebelumnya ia ketik beberapa hari lalu.
“Presentasi
selanjutnya akan disampaikan oleh Letnan, time is yours.”
Sebuah
nama yang tak asing untuk dunia militer. Memang, sebelum masuk ke perguruan
tinggi ini ia pernah mencicipi dunia militer dan karena pengalamannya itu ia
memiliki ketegasan dalam bertindak, kecuali ketegasan dalam menaklukkan wanita.
Entah karena prinsip atau memang nyalinya yang tak setegas tindakannya, yang
jelas ia selalu jadi bahan ledekan teman-temannya jika berbicara soal asmara.
Dengan
perawakan yang tinggi sekitar 170 sentimeter lebih dan ditambah dengan
ketegapan yang dimilikinya, ia sangat pantas mendapat panggilan Letnan. Balutan
sawo matang menyelimuti badannya dan rambut ikal menandakan bahwa ia berasal
dari seberang timur pulau Jawa, tepatnya Nusa Tenggara Barat, daratan yang
memiliki kekayaan bumi yang berlimpah seperti emas dan ragam bahasa menarik
seperti Ngahimbojo. Bumi yang begitu indah itu untuk beberapa tahun ia
tinggalkan demi melanjutkan studinya di negeri rantau. Selama perantauan ia
tinggal bersama salah satu saudara dari orang tuanya sehingga setiap selesai
kuliah ia tidak bisa berlama-lama di kampus karena harus membagi waktunya
dengan saudaranya tersebut untuk membaktikan diri sebagai wujud terima kasih.
Sesekali ia juga pernah pulang sampai larut malam lantaran mengerjakan tugas
kelompok atau sekadar ingin menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
“Baiklah,
selanjutnya saya akan menerangkan beberapa jenis morfem. Root, bound and
free morpheme.”
Aksen
ketimuran melekat jelas pada setiap tuturan yang ia sampaikan di depan
teman-temannya. Diawali dari hasil ketikannya yang menggunakan bahasa Inggris
pada makalah yang ditulisnya. Memang hanya dia yang mengetik dengan menggunakan
bahasa asing tersebut tujuannya tidak lain untuk membiasakan dan mempraktikkan
kemampuan berbahasa asing yang ia miliki agar di semester akhir tidak akan
mengalami kesulitan dalam menyusun struktur kalimat secara gramatikal.
“Sebagaimana
telah dijelaskan oleh teman saya (Gus) tentang morfem, selanjutnya yaitu Bound
Morpheme atau dalam bahasa Indonesia disebut Morfem Terikat. Morfem terikat
ialah morfem yang tidak memunyai potensi untuk berdiri sendiri dan selalu
terikat dengan morfem lain untuk membentuk suatu ujaran. Definisi ini diambil
dari berbagai sumber seperti dari bukunya Fromkin, Carstairs-McCarthy,
Kridalaksana, dan kamus linguistik.”
(*)
Pada
hari itu ia bertugas mengimami jemaah salat Subuh menggantikan ayahnya yang
sedang tidak enak badan karena kecapean. Suasana yang begitu tenteram dan
menyejukkan hati di tengah para santri yang sedang bertadarus usai salat Subuh
atau mengumandangkan beberapa bait nazam dari kitab Alfiyah Ibnu
‘Aqil. Segelas kopi hitam, sebungkus rokok kretek dan korek gas menempel di
atasnya menemani Aa satu jam kemudian. Tak ketinggalan nasi goreng atau
gorengan selalu mengawali paginya sebelum menikmati kopi dan rokoknya. Sebagai
anak dari seorang pengasuh pesantren ia tidak mau mengecewakan keluarganya yang
telah membesarkan dan mendidiknya.
Walaupun hanya mengajar atau sekadar menyelesaikan permasalahan para
santrinya yang ada di yayasan turun-temurun itu, setidaknya ia sudah mencoba
untuk mengabdikan diri dan siap melanjutkkan tongkat estafet kepemimpinan
ayahnya di pesantren itu.
Dengan
penampilan yang necis dan kendaraan skuter matic biru yang telah
dipanaskan Aa siap menaklukkan hamparan aspal dari rumahnya menuju kampus.
Entah ada apa selama di perjalanan, sesampainya di kampus ia tidak bisa
mengikuti mata kuliah jam pertama.
“[Lagi
di mana cuy? Lu ga masuk?],” satu pesan masuk dari Mbah terlihat di smartphone
miliknya.
“[Gw d
basement nih sendirian].”
“[Ya
iy lah lu sndirian, org tmn2 lu pd msuk smua, cpetan msuk mmpung msh Letnan yg
presentasi, blm 30 mnit ko].”
“[Gak
ah, msuk jg prcma pling jg gw dpet L di dftr hdir].” Betul sekali, predikat
huruf L merupakan hadiah dari dosen apabila mahasiswanya telat hadir 15 menit
setelah beliau masuk.
“[S’nggak’y
lu pnya jtah 1 absen lg klo lu msuk skrg].” Mbah masih terus mengingatkan.
“[Malu
cuy, udhlah gw gugurin aja morfologinya, tnggung msuk jg ujung2’y gw dpet C].”
Sudah terbiasa dan sangat gampang sekali untuk seorang Aa menggugurkan mata
kuliah begitu saja. Pergulatannya dengan sistem yang terdapat di jurusan
membuatnya tertinggal dengan teman-temannya, terkecuali Mbah yang hampir sama
nasibnya.
(*)
“Morfem
terikat terbagi menjadi prefix (awalan), suffix (akhiran), infix
(sisipan), dan circumfix (imbuhan/awalan dan akhiran).” Letnan
menjelaskan pembagian morfem dengan gaya khasnya, tegas dan lugas mencirikan
sosok berwibawa dan kuat di depan teman-temannya. Coretan-coretannya pun
bermunculan di papan tulis untuk menjadi contoh yang disuguhkan olehnya.
Sementara teman-temannya dengan seksama memerhatikan istilah-istilah yang ia
sampaikan. Tiap pupil mengikuti gerakannya dengan sebuah spidol di tangan kanan
dan tangan kirinya yang sesekali menyentuh whiteboard.
“Seperti
yang ditulis Carstairs-McCarthy di dalam bukunya, Free morpheme is morpheme
that can stand alone. Teman-teman bisa melihatnya pada halaman 18 atau
definisi yang lainnya yaitu morfem yang secara potensial dapat berdiri sendiri
dalam suatu bangun kalimat.” Beberapa teori ia gunakan sebagai senjata untuk
mengantisipasi serangan teori teman-temannya. Mulai dari teori Poedjadi,
Kridalaksana, sampai dengan teori dari para linguis luar negeri seperti
Victoria Fromkin, Nina Hyams, Andrew Carstairs-McCarthy, Bloomfield, dan De
Saussure yang merupakan bapak linguistik modern. Semua itu menandakan bahwa ia
seorang yang rajin mengunjungi perpustakaan untuk sekadar membaca atau mencari
referensi, sama halnya dengan temannya, Gus. Di antara yang lain mereka berdua
yang paling rajin menyisihkan waktu untuk pergi ke perpustakaan. Tak ada tempat
yang lebih enak dan pas untuk mengasah analisis kecuali perpustakaan. Tempat
yang paling mereka sukai ialah Canadian Corner yang memang sangat tenang untuk
membaca.
(**)
Beberapa
tampilan slideshow diperlihatkan oleh Cak yang pada kesempatan itu
menjadi operator dan concluder presentasi kelompoknya. Arek Jawa
Timur dengan gaya slow but sure sangat ahli dalam bidang kreasi seni
desain grafis. Tak ayal jika teman-teman seorganisasinya sering memesan desain banner
dan beberapa seni grafis lainnya sehingga ia bisa sesekali mendapatkan
penghasilan dari keahliannya tersebut. Hasil kerja kerasnya belajar desain
grafis secara autodidak memang tidak sia-sia ditambah dengan banyak relasi yang
ia jalin selama ikut dengan organisasi ekstra dan primordial kedaerahan.
Namun
kegalauan kadang muncul di pikirannya karena dua hal yang sangat kontras mesti
ia pilih dan jalani, yaitu linguistik dan desain grafis. Linguistik merupakan
kewajiban yang harus ia tempuh untuk meneruskan dan menyelesaikan studinya
karena program studi ini sudah ia pilih pada awal semester waktu itu. Desain
grafis ialah hobi yang sangat ia cintai di antara hobi-hobinya yang lain,
karena tiap kali ia menggoyangkan mouse ia seolah selalu mendapat
kreasi-kreasi baru dari hasil kreativitasnya.
Ia
bahkan menerima banyak orderan dari individu maupun instansi sehingga ia
berniat membuka percetakan sendiri. Tapi untuk sementara ia bekerja di salah
satu percetakan dekat kampusnya agar bisa mendapat pengalaman dan ilmu dalam
memanajemeni dunia percetakan di kemudian hari. Terbukti dari hasil tangan
dinginnya ia mampu membeli skuter matic walaupun bekas. Secara fisik arek
ini memang biasa saja, malah terkesan sangat lemas, tidak semangat, dan tampil
apa adanya. Akan tetapi di balik itu ada kekuatan untuk menepis kesan-kesan
yang ada pada dirinya.
Walau
tampang ndeso, tapi rezeki kota, gadis pun tinggal menyusul. Mahasiswi fakultas sebelah telah terpikat oleh
pesonanya. Gadis yang ia kenal di organisasinya itu telah menemaninya selama
hampir dua tahun. Jadi, jangan harap jika malam minggu Cak bisa berkumpul
dengan teman-temannya karena dia akan memilih atau sudah punya jadwal date
dengan Cleopatranya untuk makan atau hangout ke mal.
(**)
“Dan
yang disebut infleksi ialah morfem terikat yang mengalami perubahan
bentuk kata yang menunjukkan hubungan gramatikalnya. Seperti kata pretend
berinfleksi menjadi pretend-ing, pretend-s, atau pretend-ed.
Sedangkan derivasi ialah morfem terikat yang mengalami proses perubahan
bentuk kata melalui pengimbuhan afiks sehingga mengubah kelas katanya, seperti
kata believe (verba) menjadi kata sifat (adjektiva) bila ditambah sufiks
–able yaitu believable (adjektiva).” Dengan sorot mata yang tajam
menerawang tiap bahasa tubuh teman-teman kelasnya Letnan menjelaskan pembahasan
tersebut dengan penuh percaya diri. Beberapa saat ia melirik kepada buku tebal
yang ia pinjam dari perpustakaan dan kursi menandakan bahwa penjelasannya sudah
hampir selesai.
“Pembahasan
selanjutnya akan disampaikan oleh Mbah, monggo Mbah,” Gus memoderatori
sambil berdiri hendak menuntun Mbah ke depan dan memberikan senyuman yang khas
kepada teman-temannya. Sebuah kelakar ia lakukan agar suasana kelas tidak terlalu
tegang.
Mbah,
sebuah nama yang bernuansa kemenyan, sesajen, kolot, dan jadul bersiap
untuk melanjutkan pembahasan morfologi. Lima hari sebelumnya ia mengajak
teman-teman kelompoknya ke perpustakaan dan sangat jarang sekali ia melakukan
momen ini karena biasanya ia paling tidak tertarik jika diajak ke perpustakaan
bersama-sama. Tentu teman-teman kelompoknya menyambut itu dengan penuh
semangat. Sebenarnya ia sering mengunjungi perpustakaan tapi tidak untuk
berkunjung secara bersamaan dengan teman-temannya. Ia lebih suka sendiri, tidak
hanya pergi ke gudang ilmu itu saja, ke mana pun ia pasti hanya ditemani tas
hitam dan komputer jinjingnya. Tapi kesendiriannya itu bukan berarti ia tidak
punya pacar atau tak mau bergaul dengan teman-temannya dan orang lain, ia hanya
ingin pergi ke tempat mana pun sesukanya tanpa harus menunggu persetujuan yang
disepakati. Karena menurutnya pergi sendiri itu bebas, tanpa hambatan seperti
jalan tol di luar negeri. Mungkin karena ia menganggap pergi perpustakaan
secara bersama-sama itu seperti mahasiswa baru yang ke mana-mana harus bareng.
Nama
Mbah dianugerahkan kepadanya atas dasar ia lebih senior daripada teman-teman
sekelasnya. Sebelumnya ia memilih jurusan yang tidak sesuai dengan
kemampuannya. Alasan itulah yang ia gunakan apabila ada temannya yang
menanyakan sebab ia pindah jurusan, tapi yang jelas alasan sebenarnya yaitu
asal bisa diterima dan masuk kampus itu saja berhubung jurusan yang ia pilih
termasuk yang paling gampang dimasuki tapi sulit keluar jika tidak benar-benar
serius mendalaminya. Dirasa tidak mampu menguasai materi di kelas, hal itu
menyebabkannya untuk pindah jurusan pada tahun berikutnya. Selain itu ada
faktor lain yang merasuki pikirannya, yaitu ia ingat kata-kata Mario Teguh pada
acara salah satu stasiun televisi yang mengatakan bahwa “Mulailah hidup dari
sesuatu yang Anda cintai atau sukai”.
“Terima
kasih kepada moderator atas waktu yang disediakan. Diskusi selanjutnya kita
akan mengidentifikasi morfem yang secara bebas memiliki makna. Dalam
mengidentifikasinya, kita harus perhatikan kaitannya dengan bentuk fonologis,
secara makna maupun secara leksikalnya. Suatu awalan atau prefix [re-]
dalam bahasa Inggris dapat ditambahkan pada kata kerja (verb) secara
bebas, prefiks [re-] sendiri berarti ‘again’, seperti pada kata rewrite,
reread, repaint, revisit. Prefiks tersebut mempunyai pengucapan seperti
kata see, atau secara fonetik bisa ditulis seperti [ri]. Atau kita
temukan kata lain dengan menurunkan bunyi huruf vokalnya [rɪ] atau [rɚ] seperti
kata revise, return, restore, revive, dan reverse. Dari kata-kata
tersebut tentu mempunyai arti sendiri seperti revise berarti mengoreksi
lagi atau merevisi, return berarti mengembalikan, restore berarti
membalikkan ke bentuk semula, revive berarti menghidupkan lagi, dan reverse
berarti mengubah sesuatu. [rɪ] dan [rɚ] itu disebut alomorf dari morfem yang
sama yakni [re-].” Ia memulai penjelasan materi di atas dengan sangat santai di
hadapan teman-temannya. Terlihat juga dari penampilannya hari itu, ia hanya
mengenakan kaos oblong, celana panjang robek, dan sandal gunung. Sebuah
pemandangan yang hambar untuk dilihat dan terbilang cukup berani berpenampilan
seperti itu pada suatu presentasi yang bersifat formal. Tapi anggapan itu
dimentahkan oleh prinsipnya yang mengatakan bahwa “Penampilan fisik itu
nomor dua, yang pertama ialah otak”. Di balik itu semua, ia hanya ingin
berpenampilan apa adanya, tidak dibuat-buat dan sesuka hatinya.
(***)
“Dalam
penerjemahan, seorang penerjemah harus memperhatikan tahapannya. Adapun tahap
dalam proses penerjemahan menurut Nida dan Taber dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu analisis (analysing), pengalihan (transferring), dan
penyerasian (restructuring).” Di kelas sebelah terdengar suara wanita
dengan aksen bule keluar dari mulutnya dengan lantang. Di ruangan itu ada Agan
yang sedang menyimak materi linguistik terapan, yaitu penerjemahan. Agan adalah
salah satu dari sekelompok mahasiswa yang menamakan diri sebagai Jancukers
(Gus, Cak, Letnan, Aa, Agan dan Mbah). Tiap kumpul berapa kali panggilan jancuk
keluar dari mulut mereka dengan berbagai aksen untuk menyapa para anggotanya.
Kemarin
adalah hari Rabu yang kebetulan ada pertandingan sepak bola di malam harinya. Usai
kuliah mereka sepakat kumpul di pelataran fakultas untuk membahas jadwal
menonton pertandingan itu, sementara Mbah dan Aa pergi ke kantin sebentar untuk
membeli kopi dan setengah bungkus rokok kretek agar acara kumpul itu terasa
lebih sempurna.
Begitu
dalam Aa menghisap gulungan nicotiana tabacum itu sambil memulai
pembicaraan. “Jadi di mana nih kita nonton bola?”
“Mau
di mana lagi kalau bukan di indekosnya Agan, kalau nonton di tempat Mbah pasti
lapangannya penuh semut, mau nonton di rumah Aa kejauhan di Sukabumi, gimana
Gan bisa kan?” tawar Gus sambil meledek televise Mbah yang memang tidak
sejernih punya Agan.
“Gue
sih bisa aja, tapi gimana yang lain?” Agan menyetujui.
“Yang
lain juga bisa Gan kalau lu sebagai tuan rumah udah setuju, Letnan izin dulu ke
tantenya enggak pulang hari ini mau ngerjain tugas kelompok. Terus abang lu ada
enggak?” Cak memperkuat tawaran Gus.
“Abang
gue malam ini enggak pulang, dia ada lembur katanya, ya udah mau ke indekos gue
jam berapa?
“Aku
habis Magrib mau ngajar ngaji dulu di masjid, mungkin ke tempatmu habis Isya,
jam sembilan. Entar sebelum Subuh aku pulang soalnya jadwalku azan.” Lontar Gus
dengan aksen Jawanya.
Memang
di tempat Aganlah yang paling enak untuk acara nobar pertandingan sepak
bola. Anak lanang bungsu ini sangat disayang oleh keluarganya. Ayahnya adalah
seorang kepala sekolah di kota Depok. Pantas jika huniannya begitu nyaman
layaknya di rumah sendiri, bangunan tiga petak dengan fasilitas yang memadai
seperti televisi, mesin cuci, kompor gas, kulkas, dan masih banyak lagi karena
didukung oleh kemampuan finansial keluarganya.
Pada
awal semester ia memutuskan untuk mengambil jurusan yang berbeda dengan
teman-temannya. Ia mengambil jurusan penerjemahan. Di kelas itu ia mendapat
metode dan teori tentang penerjemahan.
(***)
Mbah kembali menjelaskan pembahasan materi itu. Sementara di luar kelas
suasana begitu bergemuruh, bahkan ada yang berteriak-teriak memanggil nama
seseorang seolah sedang berada di belahan bukit dan rimba. Sebelah utara
tercium aroma hidangan dari kantin, sebelah selatan terdengar suara sol keluar
dari ruang kelas sebelah.
“Dari
kata return, restore, revise Andrew Carstairs-McCarthy dalam bukunya An
Introduction to English Morphology; Words and Their Structure menjelaskan
bahwa kata-kata tersebut bersifat monomorfemis karena hanya terdapat satu
morfem di dalamnya. Kita bisa mengambil contoh kata-kata yang lain dalam bahasa
Inggris seperti refer, reduce, revoke, reserve, relate, remit, revolve.
Dari semua kata-kata itu sebenarnya tidak mempunyai prefiks [re-] karena jika
kita pisahkan akar katanya (root) misalnya kata duce tidak ada
dalam kamus bahasa Inggris, sehingga jika digabungkan akan membentuk kata reduce
yang mempunyai satu morfem dan makna yang sendiri, tidak terkecuali kata relate,
reserve, return, restore, pretend, translate, dan lain-lain, apabila unsur
bahasa yang tampak seolah prefiks itu digabungkan dengan leksem atau akar kata
di atas, maka akan membentuk makna baru. Contoh kata yang lain seperti surpass,
surface, superimpose, supervise. Contoh di dalam bahasa Indonesia seperti
kata merah dan berani, kedua kata ini seolah memiliki prefiks
[me-] dan [ber-] padahal itu tidak ada. Karena jika dipisahkan antara ‘prefiks’
[me-] dan ‘akar kata’ [-rah] atau [ber-] dengan [-ani] akan memiliki makna yang
sangat jauh dan tidak berkaitan atau bahkan tidak bermakna. Kata-kata tersebut
dapat disebut sebagai prefix-root structure (susunan akar kata yang
menjadi morfem terikat atau tampak seperti dimasuki prefiks) dan bersifat
monomorfemis.”
Penjelasannya
itu cukup membuat suasana kelas menjadi senyap seakan-akan sangat menikmati
aliran teori-teori para linguis terdahulu. Efeknya adalah pada sesi selanjutnya
tidak ada tambahan dan sanggahan, hanya beberapa pertanyaan yang meminta
penjelasan ulang dan contoh lain dari masing-masing pemakalah tadi. Entah
karena pada saat penyampaian materi itu mereka tidak memperhatikan atau sekadar
mencari perhatian dari dosen agar mendapat poin plus untuk nilai formatif.
Selanjutnya kesimpulan disampaikan oleh Cak yang kemudian ditutup oleh
moderator.
Hanya
ada satu komentar dari dosen mata kuliah itu bahwa “Makalahnya banci”.
Ya memang benar, makalah yang diberikan kepada dosen itu tidak memiliki
‘kelamin’ jelas karena memakai dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
dalam satu makalah. Bahasa Indonesia ditulis oleh Gus, Mbah, dan Cak, sementara
Letnan menulisnya dengan menggunakan bahasa Inggris. Waktu satu setengah jam
mengakhiri materi dan diskusi morfologi hari itu dan setelah kuliah kegiatan
rutin mereka ialah kumpul di pelataran fakultas. Gema azan Zuhur berkumandang,
waktunya Letnan pulang karena kemarin sudah izin tidak pulang ke rumah. Mbah
harus menemani pacarnya untuk makan siang. Satu per satu mereka pergi dengan urusan
masing-masing.
Post a Comment