Header Ads

Unsur-unsur Makna dalam Puisi



Concordia Octavo


PENDAHULUAN
 
Pada pertemuan sebelumnya, pegiat-pegiat Kolibét Ciputat telah membahas unsur-unsur bentuk yang terdapat di dalam puisi yang disampaikan oleh Bung Oky Primadeka dan Yuni Budiawati. Kali ini kita akan membahas unsur-unsur makna yang terdapat di dalam puisi. Pegiat literasi tentu sering menemukan ungkapan Waktu adalah uang. Mengapa ‘waktu’ dapat disebut sebagai ‘uang’? Jika merujuk pada arti sebenarnya atau secara leksikal, tentu makna kata-kata tersebut tidak sesuai atau tidak cocok. Kata-kata tersebut jika dicari di dalam kamus, tentu akan didapatkan arti atau makna yang jelas dan pasti. Namun di dalam puisi, maknanya akan berbeda. Sebelum lebih detil membahasnya, tentu perlu diketahui dulu definisi dari makna dan arti.
 
MAKNA DAN ARTI

Makna dan arti sangat erat kaitannya dalam bahasa, apalagi bahasa puisi. Setiap kata memiliki makna dan arti sendiri untuk membedakannya dengan yang lain. Arti bisa disebut sebagai ‘maksud yang terkandung dalam perkataan atau kalimat’, atau ‘makna’. Dalam hal ini makna arti  lebih aktual daripada makna makna. Istilah makna di dalam bahasa Inggris merupakan padanan dari istilah sense, dan istilah arti merupakan padanan dari istilah meaning. Subuki (2011: 24-25) yang mengutip dari Crystal (2008: 298), Trask (1999: 120), Richards dan Schmidt (2002: 323), dan Bussmann (1996: 732-733) membatasi konsep meaning atau arti sebagai dimensi operasional untuk analisis bahasa (linguistik), karakteristik bentuk bahasa (linguistik) yang dapat digunakan untuk maksud tertentu, sesuatu yang terekspresikan melalui bahasa, dan dimensi luar bahasa dari ungkapan bahasa (Subuki, 2011: 24-25).

Mengutip dari Pradopo (1987: 15), rangkaian fonem, suku kata, frasa, dan kalimat merupakan satuan arti. Rangkaian kalimat yang menjadi bait dapat membentuk kebulatan makna utuh yang memunculkan sebuah gambaran dunia imajinasi (W.S., 2012: 29).
 
Sementara, makna bisa disebut sebagai ‘maksud’, ‘arti’, ‘tanda’, ‘menandai’, atau ‘berarti’ (Djajasudarma, 1999: 1). Menurut Cruse (2006: 162-163), makna  atau sense memiliki tiga dimensi, yaitu makna dibangun oleh hasil hubungan arti kata dengan kata lainnya dalam sebuah bahasa, makna sebagai bentuk bahasa yang digunakan untuk maksud tertentu, dan makna merupakan arti yang dapat dibeda-bedakan (distinguishable meaning) seperti arti yang ada dalam kamus (Subuki, 2011: 23).
 
Lebih lanjut, Rahardjo (2007: 57) mendefinisikan makna sebagai objek, arti, pikiran, gagasan, konsep atau maksud yang diberikan oleh penulis, pembaca, atau penutur terhadap suatu bentuk kebahasaan baik berupa kata, kalimat, maupun wacana (Rahardjo, 2007: 57). Dengan demikian, makna memiliki definisi lebih kompleks daripada arti. Sedangkan arti merupakan perwujudan aktual dari makna.
 
JENIS-JENIS ARTI
 
Makna dan arti memiliki hubungan sangat dekat, namun arti memiliki hubungan yang lebih spesifik dengan sebuah kata. Hal tersebut untuk mewakili entitas yang menjadi tujuan atau maksud dari penutur (penyair). Sebelum menganalisis sebuah puisi, penikmat haruslah mengetahui beberapa makna dan arti. Sebenarnya, makna dan arti memiliki banyak jenis. Dalam hal ini, penulis menyampaikan beberapa jenis arti yang berhubungan dengan unsur makna yang terdapat dalam puisi.
 
1. Arti Leksikal

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan, leksikal adalah sesuatu yang berkaitan dengan kata atau kosakata (Setiawan, 2013). Mengutip dari Bussmann (1999: 678), arti leksikal adalah
Aspek arti yang dikodifikasikan (aturan baku) dalam leksikon (kosakata) atau di dalam kamus, aspek arti yang dapat dianalisis, dan aspek arti yang bersama arti dari elemen gramatikal seperti modal, kala, dan perbandingan. Membentuk arti suatu ungkapan linguis secara keseluruhan.
Sementara Subuki (2011: 46-47) memberikan definisi arti leksikal ke dalam tiga dimensi: (1) arti leksikal adalah arti dari kata penuh (full word), kata berisi (content word), atau kata yang termasuk dalam kelas kata terbuka (open class); (2) arti leksikal itu kaya dan kompleks; (3) arti leksikal membentuk arti suatu ungkapan bahasa (linguistik) secara keseluruhan (Subuki, 2011: 46-47). Misalnya arti yang melekat pada WAKTU dan UANG adalah arti leksikal. 

2. Arti Denotatif dan Konotatif

Dalam puisi, pembicaraan diksi ialah tentang denotasi dan konotasi. Penyair atau pencipta puisi harus memahami denotasi dan konotasi memilih kata-kata supaya tepat dan menimbulkan gambaran yang jelas dan padat. Mengutip dari Altenbernd (1970: 9), sebuah kata itu memiliki dua aspek arti, yaitu denotasi dan konotasi (Pradopo, 2012: 58).
 
Denotasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif (Setiawan, 2013).
 
Definisi tersebut juga sesuai dengan yang disampaikan oleh Hartmann dan James (1998: 36), denotasi adalah aspek arti yang menghubungkan sebuah kata atau frasa pada acuan objektif yang dimaksudnya (Subuki, 2011: 53).
 
Mengutip dari Wellek (1968: 22), denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yakni pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata yang disebutkan dan diceritakan. Bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Pradopo, 2012: 58). Dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya atau arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan.
 
Namun dalam puisi (karya sastra pada umumnya), sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bukan hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya.
 
Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan atau akal (Pradopo, 2012: 60-61).
 
Mengutip dari Hartmann dan James (1998: 28) dan Crystal (2008: 102), konotasi adalah aspek arti dari kata atau frasa yang diasosiasikan dengan nada tambahan yang bersifat emotif (Subuki, 2011: 49).
 
3. Arti Literal dan Nonliteral

Arti literal dalam Bahasa Inggris disebut literal meaning. Arti literal maksudnya ialah arti dasar (harfiah) dari kata atau frasa yang tidak bersifat metaforis. Sedangkan arti nonliteral berkaitan dengan bahasa figuratif atau figurative language. Dalam hal ini, bahasa figuratif biasanya menggunakan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan (Subuki, 2011: 51).
 
Di dalam puisi, makna adalah tujuan yang dibuat oleh penyair melalui unsur-unsur seperti pemilihan kata, pembentukan larik, atau bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan. Sementara dalam bahasa, makna memiliki relasi satu sama lain. Berikut ini adalah relasi makna yang saling berhubungan:
 
a. Homonimi
Homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. Ada dua jenis homonimi, yaitu kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon (Darmojuwono, 2009: 116).
Contoh:
Senja Di Pelupuk Mata
.....
Deretan serimu sodorkan seri
Garisan di matamu, entah aisedow atau ailainer
aku tak tahu namanya, tampak nyata
.......dst

(Concordia Octavo, Puisi Senja, 2014)
Kata yang digarisbawahi merupakan contoh relasi makna homonimi yang memiliki tulisan yang sama tapi bermakna beda, yaitu homograf. Seri pada kata serimu maksudnya deretan gigi seri (séri), sedangkan seri yang kedua maksudnya bercahaya atau cantik.
 
b. Polisemi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan, polisemi adalah bentuk bahasa (kata, frasa, dan lain-lain) yang memiliki makna lebih dari satu (Setiawan, 2013). Polisemi berkaitan dengan kata atau frasa yang memiliki beberapa makna yang berhubungan. Hubungan antarmakna disebut polisemi (Darmojuwono, 2009:117). Waridah (2013: 100) menyebut polisemi sebagai bentuk yang memiliki makna ganda yang bertalian (Waridah, 2013: 100).
Contoh:
Demam Rindu

                    Buat Rinrin Sri Annisa

Biarkan waktu yang ‘kan menjawab
Semua teka-teki keraguan kita
Sebab yakin bukan soal memaksa.
Adakah cinta yang ingin terlantar?
Adakah cinta yang ingin sendiri
Ketika sepi menegaskan diri?

Aku mendemamkanmu dalam rindu
Di tiap guguran malam yang memaksa pagi menimang fajar
Isak tangis hangatnya membuat tanah, air, dan udara pasrah.
Kautahu, aku menanam namamu di kebun pikiranku setahun lalu
Saat aku belum tahu betul cara menghafal sebuah nama dengan baik.
Kini, ia telah menjelma perdu rambati tubuhku seluruh.
Dan kautahu, sama sekali aku tak ingin lepas dari jeratnya, selamanya.

(Oky Primadeka, Puisi Waktu, 2014)
Judul demam atau mendemamkanmu yang digarisbawahi memiliki relasi makna polisemi. Polisemi sangat erat kaitannya dengan kamus, karena tiap kata yang terdapat dalam kamus memiliki makna yang beraneka ragam. Kata demam ketika dilihat dalam kamus memiliki beberapa makna. Demam dapat berarti sakit, dan demam dapat juga berarti tergila-gila.
 
c. Sinonimi dan Antonimi
Sinonimi adalah relasi makna antarkata yang maknanya sama atau mirip. Sinonimi mutlak sangat jarang ditemukan pada bahasa manapun, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya sinonimi, yaitu karena penilaian rasa yang berbeda, kondisi sesuatu, dan hubungan. Misalnya makna kata rumah yang bersinonimi dengan gubug, wisma, istana, atau kata pekerja bersinonimi dengan karyawan, pegawai, buruh, pelayan (Darmojuwono, 2009: 117).
 
Dalam penentuan sinonimi dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, metode substitusi, menggantikan suatu kata dalam konteks tertentu dengan kata lain makna konteks tidak berubah. Kalimat Aku adalah binatang jalang akan mudah dipahami pada saat kata binatang diganti dengan kata hewan atau satwa. Kedua, metode pertentangan, mencari pertentangan suatu kata dengan sejumlah kata sehingga akan membentuk sinonimi. Misalnya kata call dalam Bahasa Inggris, bertentangan dengan kata answer dan reply. Sinonimi akan terjadi pada kata answer dan reply. Ketiga, penentuan konotasi, kata-kata yang memiliki kesamaan makna kognitif dan berbeda dalam makna emotif. Kata-kata seperti kamar kecil, kakus, jamban, WC, dan toilet mengacu pada benda yang sama yang berkonotasi berbeda (Palmer, 1976: 63).
 
Sedangkan antonimi atau oposisi adalah relasi antarkata yang bertentangan atau berkebalikan maknanya. Ada istilah antonimi digunakan untuk oposisi makna dalam pasangan leksikal bertaraf, seperti panas dan dingin. Antonimi ini disebut bertaraf karena antara panas dan dingin masih ada kata-kata lain seperti hangat. Atau kata siang dan malam disebut antonimi bertaraf karena masih ada kata pagi, petang, sore, dini hari. Ada juga istilah pasangan leksikal tidak bertaraf yang maknanya bertentangan, disebut oposisi komplementer, seperti jantan dengan betina (Darmojuwono, 2009: 118).
 
d. Hiponimi dan Hiperonimi
Hiponimi adalah relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik, seperti kata mawar dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang. Anggrek, mawar, aster, melati dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, anjing, kambing, ayam, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan superordinat (hiperonim) bagi anggrek, mawar, aster, melati, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, anjing, kambing, ayam,  dan kuda (Darmojuwono, 2009: 118).
Contoh:
Dalam penggalan sajak karya Chairil Anwar berjudul “Aku”: (Octavo, 2014: 12)
Aku
.....
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
..... dst

(Chairil Anwar, Kerikil Tajam)
Kata binatang memiliki makna generik atau disebut hiperonim. Sedangkan hiponimi dari kata binatang bisa ditempati (berhiponim) dengan kata-kata seperti kucing, kambing, serigala, dan lain-lain. Sehingga Waridah (2013: 101) menyebut hiponim sebagai bentuk yang maknanya terangkum dalam hiperonim, atau subordinatnya, atau superordinatnya, yang mempunyai makna yang lebih luas (Waridah, 2013: 101).
 
e. Meronimi
Meronimi adalah relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan. Contohnya atap bermeronimi dengan rumah (Darmojuwono, 2009: 119). Istilah meronim ialah wujud atau entitas yang ditunjuknya merupakan bagian dari wujud atau entitas lain yang menyeluruh (holonim) (Waridah, 2013: 102).
Contoh:
Demam Rindu
.....
Saat aku belum tahu betul cara menghafal sebuah nama dengan baik.
Kini, ia telah menjelma perdu rambati tubuhku seluruh.
.....dst

(Oky Primadeka, Puisi Waktu, 2014)
Dalam puisi di atas, kata tubuhku memiliki meronimi atau relasi makna keseluruhan dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada kata bagiannya. Di dalam tubuh ada kepala, leher, dada, lengan, dan tungkai. Kata kepala bermeronimi dengan rambut, dahi, mata, hidung, telinga, dan mulut. Kata mulut bermeronimi dengan lidah, gigi, dan bibir. Kata bibir bermeronimi dengan bibir atas dan bibir bawah.
 
f. Makna Asosiatif dan Afektif
Makna asosiatif adalah makna yang dipengaruhi oleh unsur mental, pengetahuan, dan pengalaman seseorang. Objek makna asosiatif cenderung sama dengan makna denotatif, sesuai dengan kenyataan. Misalnya kata gubug bermakna denotatif ‘tempat berteduh di sawah’. Selain itu, gubug bermakna asosiatif kecil, pedesaan, teduh, dan damai.  Sedangkan makna afektif adalah makna yang berhubungan dengan perasaan seseorang pada saat mendengar atau membaca suatu kata. Ini bisa menjadi positif dan negatif. Penilaian rasa atas sebuah kata istilah yang termasuk di dalam konotasi. Kata jujur-bijaksana memiliki nilai yang positif. Sebaliknya, kata korupsi-egois berkonotasi negatif.  Salah satu fungsi makna asosiatif dan afektif adalah memunculkan kesan yang mudah diterima oleh seorang pembaca atau pendengar suatu kalimat yang dimaksudkan untuk umum, seperti iklan (Darmojuwono, 2009: 119-120).
 
g. Makna Situatif
Kata-kata yang memiliki fungsi yang bersangkutan dengan hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa, seperti pronomina persona saya, aku, kamu, anda; pronomina penunjuk ini dan itu; nomina yang merupakan keterangan waktu lusa, kemarin, besok, atau minggu depan; dan keterangan tempat di sini, di sana, di situ; merupakan makna referensialnya yang terkait dengan situasi pembicaraan (Darmojuwono, 2009: 120) atau dalam hal ini penyair atau pencipta puisi menuangkan idenya ke dalam tulisan berbentuk puisi.
Contoh:
Demam Rindu
....
Kautahu, aku menanam namamu di kebun pikiranku setahun lalu
Saat aku belum tahu betul cara menghafal sebuah nama dengan baik.
Kini, ia telah menjelma perdu rambati tubuhku seluruh.

(Oky Primadeka, Puisi Waktu, 2014)
Kata setahun lalu merupakan makna situatif yang dibuat pencipta puisi untuk menerangkan bahwa sosok ‘aku’ mengenal ‘namamu’ setahun yang lalu.
 
SENSE ATAU MAKNA
 
Seperti disebutkan sebelumnya, sense diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai makna. Mengutip Aminuddin (1987: 150), sesuatu yang diciptakan atau dikembangkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkannya disebut sense. Terdapatnya sense dalam suatu puisi, pada dasarnya akan berhubungan dengan gambaran dunia atau makna puisi secara umum yang ingin diungkapkan penyairnya (Admin, http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html, akses 25 April 2014).
 
Tarigan (2011: 10) menyebut sense sebagai tema atau makna. Menurutnya, penyair mengemukakan, mempersoalkan, dan mempermasalahkan pengalaman-pengalamannya kepada penikmat melalui puisinya sehingga dapat menimbulkan makna tertentu (Tarigan, 2011: 10).
Contoh (Tarigan, 2011: 10-11):
Kembang Setengah Jalan
Mejaku hendak dihiasi
Kembang jauh dari gunung
Kaupetik sekarangan kembang,
Jauh jalan panas hari,
Bunga layu setengah jalan.

(Armijn Pane, Jassin, 1963: 88)
Sense atau makna yang didapat dari puisi di atas adalah “sesuatu yang tak sampai”. Sesuatu itu adalah kembang yang melambangkan kasih, cinta, atau wanita. Makna atau sense yang didapat dari sajak di atas adalah kasih tak sampai atau cinta yang bertepuk sebelah tangan (Tarigan, 2011: 11).
 
SUBJECT MATTER ATAU POKOK PIKIRAN
 
Subject matter merupakan pokok pikiran yang dikemukakan penyair lewat puisi yang diciptakannya (Aminuddin, 1987:150). Bila sense berhubungan dengan gambaran makna dalam puisi secara umum, maka subject matter berhubungan dengan satuan-satuan pokok pikiran tertentu yang secara khusus membangun sesuatu yang diungkapkan penyair. Subject matter yang dimaksud adalah seperti pengulasan pada setiap baitnya yang kemudian dibentuk paragraf atas pokok-pokok pikiran sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam puisi tersebut pokok pikiran antara yang satu dengan yang lainnya begitu erat berkaitan (Admin, http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html, akses 25 April 2014).
 
Setiap puisi mengandung subject matter untuk dikemukakan atau ditonjolkan berdasarkan beberapa pengalaman falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan dan pendidikan penyair atau pencipta puisi (Tarigan, 2011: 11)
 
FEELING ATAU RASA
 
Adapun mengenai sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya disebut dengan feeling (Aminuddin, 1987:150). Feeling mungkin saja terkandung dalam lapis makna puisi sejalan dengan terdapatnya pokok pikiran dalam puisi karena setiap menghadirkan pokok pikiran tertentu, manusia pada umumnya juga dilatarbelakangi oleh sikap tertentu pula. Pembahasan mengenai feeling tidak terlepas dari pembahasan subject matter. Sikap penyair terhadap apa yang ditampilkan lewat puisinya tersebut akan tercermin ketika pokok pikiran penyair terhadap puisinya sudah diketahui terlebih dahulu (Admin, http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html, akses 25 April 2014).
 
Sama seperti Tarigan (2011: 12) yang menyebutkan rasa atau feeling merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya (Tarigan, 2011: 12). Perasaan penyair dalam puisinya dapat ditangkap saat puisinya dibacakan secara deklamasi. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya dapat menghasilkan suasana hati penyair, seperti perasaan gembira, sedih terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, takut, dan menyesal (Waluyo, 2002: 39-40).
Contoh (Admin, http://kolibet.blogspot.com/2014/03/langkahmu-ayah.html, akses 26 April 2014):
Langkahmu Ayah
Tap tap
Langkah itu buatku berlari ke depan pintu
Bukan untuk sebungkus permen atau sekotak kue
Bukan untuk rengekan tambahan jajan
Tapi sebuah pelukan hangat dan kebahagiaan
Dari lengkung senyumnya yang letih menawan

Tap tap
Langkah itu berlari cepat ke arahku
Saat ragaku tak seimbang lalu jatuh
Saat jiwaku rapuh seakan dunia ‘kan runtuh

Tap tap
Langkahnya mantap namun berat
Sepatunya disemir hingga hitam mengkilat
Tangannya memegang lenganku kuat
Menuntunku pada langkah awal yang baru

Tap tap
Tongkat topang kakinya lemah
Mendekatiku dengan langkah payah
Kerutan dan rambut putihnya bertambah
Tapi pelukannya masih sehangat dulu
Lengkung senyumnya masih semenawan dulu

Tap tap
Langkahku mulai goyah
Mengantarkan pada langkahnya yang terakhir
Langkahmu Ayah...

(Yuni Budiawati, Puisi Sepatu, 2014)
Puisi di atas menggambarkan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yakni perasaan sedih dan haru.
 
TONE ATAU NADA
 
Tone mengandung maksud sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya (Admin, http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html, akses 25 April 2014). Tarigan (2012: 18) juga menyebutkan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya. Sebuah puisi akan bernada “sumbang” bila puisi bertema kegagalan (Tarigan, 2012: 18).
 
Dalam puisi, nada atau tone mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca sehingga menimbulkan suasana puisi. Penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada pembacanya melalui puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, belas kasih (memelas), takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor, mencemooh, angkuh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo, 2002: 37).
Contoh (Admin, http://kolibet.blogspot.com/2014/03/gila-hormat.html, akses 26 April 2014):
Gila Hormat
gila kuasa
                  gila tepuk tangan
                                 gila eksistensi
                                            tak gila esensi
                                                       esensi gila
                                           lawan malas
                      tolak ingin dihargai
           ini esensi eksistensi
ingin dihargai
           berapa hargamu?
                      murah atau mahal?
                                 itu masuk akal atau banal?
                                            gila saja terus
                                                      bawa cermin
                                                                  hormat di depannya
                                                                             pasti tambah gila
                                                      sudah hormat pada dirimu sendiri?
                                                                 bagaimana pendapatmu?
                                                                 apa ada caci maki?
                                           GILA HORMAT! BANGSAAAT!
                                GILA HORMAT! BANGSAAAT!
                     GILA HORMAT! BANGSAAAT!
                                      caci maki saja terus
                                                bercermin terus
                                                             jangan berhenti
                                                                        awas kacanya mati

(Faliq Ayken, Puisi Penjajahan, 2014)
Puisi di atas menunjukkan sikap penyair yang bernada sinis atau tidak setuju terhadap seseorang yang ingin selalu dihormati. Dan jika dideklamasikan dengan lantang, tentu akan menemukan efek tertentu saat membaca atau mendengar puisi tersebut.
 
TOTALITY OF MEANING ATAU TOTALITAS MAKNA
 
Totality of meaning (totalitas makna) adalah keseluruhan makna yang terdapat dalam satu puisi (Aminuddin, 1987:151). Penentuan totalitas makna puisi berdasarkan atas pokok-pokok pikiran yang ditampilkan penyair, sikap penyair terhadap pokok pikiran, serta sikap penyair terhadap pembaca. Menganalisis dengan tahapan ini, tidak dapat meninggalkan tahapan-tahapan sebelumnya, sebab tahapan sebelumnya merupakan suatu korelasi yang tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya (Admin, http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html, akses 25 April 2014).
Untuk mencapai atau mendapat totality of meaning (totalitas makna), pembaca atau penikmat harus sudah mendapat atau memahami subject matter, feeling, dan tone suatu puisi.
 
THEME ATAU TEMA
 
Mengutip dari Aminuddin (1987: 151), ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna dalam suatu puisi itulah yang dimaksud dengan theme atau tema. Tema berbeda dengan pandangan moral ataupun message meskipun tema itu dapat berupa sesuatu yang memiliki nilai rohaniah. Disebut tidak sama dengan pandangan moral maupun message karena tema hanya dapat diambil dengan jalan menyimpulkan inti dasar yang terdapat dalam totalitas makna puisi, sedangkan pandangan moral atau message dapat saja terdapat dalam butir-butir pokok pikiran yang ditampilkannya. Dengan kata lain, bidang cakupan tema lebih luas daripada pandangan moral maupun message (Admin, http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html, akses 25 April 2014).
 
Waluyo (2002: 17) menyebutkan tema adalah gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Tema atau theme haruslah bersifat khusus, objektif, dan lugas. Berikut ini adalah beberapa tema yang biasa ditemukan dalam puisi: (Waluyo, 2002: 18)
 
1. Tema Ketuhanan
Tema ketuhanan atau tema religius filosofis ialah tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih merenungkan kekuasaan tuhan, dan menghargai alam seisinya (Waluyo, 2002: 18-19). Berikut adalah contoh puisi bertema ketuhanan (Admin, http://kolibet.blogspot.com/2014/04/ritual-tengah-malam.html, akses 26 April 2014):
Ritual Tengah Malam
Setiap malam, kulihat kaukeluar kamar
menyalakan lampu untuk memastikan masihkah ada cahaya
dalam gelap yang beberapa jam lalu, sebelum kautidur,
lampu-lampu itu tidur tak mendengkur.

Langkahmu menuju ruang belakang: kamar mandi, dapur, dan meja makan
Disebut yang pertama kauada di dalamnya,
mengambil air wudu yang kaugunakan untuk basah-basahan,
membasuh dan mengusap anggota tubuh yang perlu disetubuhi air.

Tengah malam, kaumulai berzikir dan berucap Bismillahirrahmanirrahim
Aku melihat dan mendengarnya dengan mata dan telinga yang terjaga
Kauambil secarik kertas, pulpen, dan pikiranmu yang kauletakkan di atas meja
Kaumerapal kata-kata, "Ritual tengah malam ini adalah nutrisi untukku
dan juga untuk orang-orang yang ingin berteman dengan kata-kata
seperti para pujangga."
"Ritual tengah malam ini adalah tangga awal untuk dipijak
agar kuat melangkah pada pijakan-pijakan tangga selanjutnya."

Pada pertengahan ritual, matamu jatuh di atas meja tanpa kausadari,
ia berkedip sebagai tanda lelah. Kaumengacuhkannya
Kauambil matamu itu dan kauletakkan ke tempat semula
Kaulanjutkan tarian-tarian jemarimu dengan sukacita
Matamu nanar, melihat jemarimu tanpa beban bergoyang ke kiri ke kanan
Sampai azan subuh berkumandang, kauberhenti.

Melanjutkan perjalanan!

(Faliq Ayken, Puisi Malam, 2014)
Dalam puisi di atas, penyair menceritakan seseorang yang bertakwa. Tiap tengah malam sosok “kau” melakukan aktivitas beribadah yang menggunakan kata “ritual”. Kebiasaan “ritual” ini sepatutnya diterapkan di kehidupan sehari-hari agar selalu dekat dengan Tuhan.
 
2. Tema Kemanusiaan
Tema ini berisi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut martabat manusia seperti saling menghargai, menghormati, adil, dan manusiawi. Berikut adalh contoh puisi bertema kemanusiaan (Waluyo, 2002: 19-20):
Gadis Peminta-minta
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng keil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
....................................................

(Toto Soedarto Bachtiar, Suara, 1956)
Penyair mengungkapkan bahwa gadis kecil berkaleng kecil itu harus dihargai, diperhatikan, dan manusia yang memiliki martabat yang mungkin lebih tinggi dari menara katedral.
 
3. Tema Patriotisme
Puisi bertema patriotisme, penyair mangajak pembaca untuk meneladani orang-orang yang telah berkorban demi bangsa dan tanah air. Berikut adalah contoh puisi bertema patriotisme (Waluyo, 2002: 21-22):
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
............ .
Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Chairil Anwar, Kerikil Tajam, 1978)
4. Tema Cinta Tanah Air
Waluyo (2002: 23-24) membedakan puisi bertema patriotisme dan cinta tanah air. Puisi bertema patriotisme mengungkapkan perjuangan membela bangsa dan tanah air, sedangkan puisi bertema cinta tanah air berupa pujian kepada tanah kelahiran atau negeri tercinta. Berikut adalah contoh puisi bertema cinta tanah air (Waluyo, 2002: 23-24):
Tanah Sunda
Ke mana pun berjalan, terpandang
daerah ramah di sana
Ke mana pun ngembara, kujumpa
manusia hati terbuka
mesra menerima
................
Riak sungai pagi-pagi
Angin keras menyibak rambut di dahi
Dan kulihat tanah penuh darah
tubuh beku berbaring kuyu
menggapai tangan sia-sia
berseru pun sia-sia

Ah, di mana pun kaubukakan rangkuman
Ku kan menetap di sana
Kapan pun kaulambaikan tangan
Ku kan datang
menekankan jantung ke tanah hitam

(Ajip Rosidi, Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)
Penyair menunjukkan cinta kepada tanah kelahiran melalui puisinya. Tanah kelahirannya, Sunda, merupakan daerah yang ramah, orang-orangnya selalu mesra menerima penyair.
 
5. Tema Cinta Kasih antara Pria dan Wanita
Puisi banyak yang bertema cinta kasih antara pria dan wanita. Penyair biasanya berusaha mengungkapkan rasa cintanya kepada seseorang melalui puisinya. Beberapa puisi memiliki tema cinta yang meliputi perkenalan, asmara, perpisahan, atau cinta yang bertepuk sebelah tangan (Waluyo, 2002: 24). Berikut ini adalah puisi yang bertema cinta antara pria dan wanita (Admin, http://kolibet.blogspot.com/2014/04/demam-rindu.html, akses 26 April 2014):
Demam Rindu
       Buat Rinrin Sri Annisa

Biarkan waktu yang ‘kan menjawab
Semua teka-teki keraguan kita
Sebab yakin bukan soal memaksa.
Adakah cinta yang ingin terlantar?
Adakah cinta yang ingin sendiri
Ketika sepi menegaskan diri?

Aku mendemamkanmu dalam rindu
Di tiap guguran malam yang memaksa pagi menimang fajar
Isak tangis hangatnya membuat tanah, air, dan udara pasrah.
Kautahu, aku menanam namamu di kebun pikiranku setahun lalu
Saat aku belum tahu betul cara menghafal sebuah nama dengan baik.
Kini, ia telah menjelma perdu rambati tubuhku seluruh.
Dan kautahu, sama sekali aku tak ingin lepas dari jeratnya, selamanya.

(Oky Primadeka, Puisi Waktu, 2014)
Puisi di atas, penyair mengungkapkan perasaan cintanya terhadap sosok wanita yang telah diidamkan sangat lama. Aku mendemamkanmu dalam rindu menunjukkan bahwa penyair dilanda rindu yang sangat mendalam sehingga diibaratkan sakit demam. Dan kautahu, sama sekali aku tak ingin lepas dari jeratnya, selamanya merupakan maksud yang ingin disampaikan penyair bahwa cintanya tak akan dilepaskan begitu saja.
 
6. Tema Kerakyatan
Dalam tema ini, penyair mengungkapkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan dan dapat menentukan pemerintahan suatu negara. Berikut ini adalah puisi yang bertema kerakyata atau demokrasi (Waluyo, 2002: 27-28):
Rakyat
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
................ .
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang
bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan pala
Rakyat ialah suara beraneka.

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
................. .
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa

(Hartoyo Andangjaya, Buku Puisi, 1973)
Dalam puisi ini penyair mengungkapkan bahwa rakyat sangat berkuasa dengan menyebutnya darah di tubuh / debar sepanjang masa yang berarti menjadi darah bangsa Indonesia dan jantung bangsa sepanjang masa.
 
7. Tema Protes Sosial
Puisi bertema protes atau kritik sosial menonjolkan puisi yang menuntut keadilan bagi kaum tertindas. Tema ini akan menampilkan puisi yang mengungkapkan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum kaya, atau bahkan negara terhadap rakyat jelata (Waluyo, 2002: 28). Berikut ini adalah contoh puisi bertema protes sosial (Admin,  http://kumpulanfiksi.wordpress.com/2011/09/03/puisi-puisi-wiji-thukul/, akses 26 April 2014)
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Wiji Thukul, 1986)
Contoh lain ialah:
Bencana Koruptor
Lindu gempa sudah berlalu
Rumah beta disinggahi kotor
Untuk apa ada pemilu
Bila negara dipenuhi koruptor

(Concordia Octavo, 2014)
Dalam puisi PERINGATAN karya Wiji Thukul mengungkapkan kritik dan protesnya terhadap pemerintah yang pada waktu itu seolah menjadi tirani. Penyair memprotes pemerintah agar selalu belajar mendengar keluh-kesah rakyatnya. Bahkan, jika suara rakyat dibungkam dan kritik rakyat dilarang tanpa alasan, penyair membalasnya dengan kata “lawan”. Sedangkan dalam puisi lama (pantun) karya Concordia Octavo mengkritik pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang ujung-ujungnya diisi oleh para koruptor.
 
8. Tema Pendidikan
Puisi bertema pendidikan biasanya menampilkan nilai-nilai budi pekerti atau kebaikan (Waluyo, 2002: 30). Berikut ini adalah contoh puisi bertema pendidikan atau budi pekerti (Admin, http://kolibet.blogspot.com/2014/02/tiga-jendela.html, akses 26 April 2014):
Tiga Jendela
Waktu sepi, pelan-pelan kubuka pintu kamar
Di dalam banyak suara-suara terdengar samar
Kubawa masuk tubuh dan rasa ingin tahuku
Pandanganku berhenti pada tiga jendela itu

Jendela pertama kubuka, masuk ke dalam
Ruangannya besar penuh tanda-tanda
Kamar ada: fisika metafisika

Jendela kedua kubuka pelan-pelan
Kulihat dengan tatap penuh pertanyaan
Ruangan ini begitu luas, banyak jebakan
Sebagai alat berpikir, kusiapkan akal agar tak banal
Kamar pengetahuan: empiris rasional

Jendela ketiga kubuka dengan nilai-nilai
Tempat belajar bagaimana bersikap
Tempat belajar bagaimana bermasyarakat
Ujung seluruh pengetahuan yang ada
Kamar nilai: etika estetika

Pintu kamar kututup dengan tenang
Kutetapkan menetap di dalamnya
Bersama tiga jendela

(Faliq Ayken, Puisi Jendela, 2014)
Dalam puisi di atas, penyair mengungkapkan nilai pendidikan melalui kata “jendela”. Pada jendela kedua: kamar pengetahuan yakni empiris rasional seseorang haruslah menggunakan akalnya sebagai alat berpikir. Pada jendela ketiga: kamar nilai etika dan estetika, penyair menjelaskan dan mengajak pembaca bagaimana cara bersikap dan bermasyarakat melalui ilmu filsafat.
 
KESIMPULAN
 
Sebagaimana telah disampaikan di atas, ada beberapa macam arti dan relasi makna dalam bahasa, terutama puisi. Jika pembaca menemukan ungkapan waktu adalah uang, maka akan diperoleh beberapa makna dan arti. Arti leksikal dari WAKTU adalah WAKTU dan UANG adalah UANG; arti denotatif dari WAKTU adalah rangkaian saat proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung, dan UANG adalah sebuah alat tukar; arti konotatif dari WAKTU yang dikaitkan dengan UANG ialah rajin atau disiplin (dalam urusan bisnis), atau arti konotatif dari UANG yang dikaitkan dengan WAKTU ialah pandai memanfaatkan waktu.
 
Ada juga relasi makna seperti homonimi, sinonimi, antonimi, hiponimi dan hiperonimi, meronimi, makna asosiatif, makna afektif, dan makna situatif. Relasi makna ini akan sering ditemukan dalam puisi apabila menganalisis per kata atau frasa.
 
Selain itu, unsur-unsur makna yang terdapat dalam puisi di antaranya adalah sense atau makna, subject matter atau pokok pikiran, feeling atau perasaan, tone atau nada, totality of meaning atau totalitas makna, dan theme atau tema. Semua unsur makna tersebut merupakan ‘senjata’ untuk para pembaca puisi dalam menganalisis puisi secara utuh dan penuh.  
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Admin. “Puisi dan Struktur Pembangunnya.” http://catatan-sauri.blogspot.com/2012/04/puisi-dan-struktur-pembangunnya.html (akses 25 April 2014).
---------. “Puisi-puisi Wiji Thukul.” http://kumpulanfiksi.wordpress.com/2011/09/03/puisi-puisi-wiji-thukul/ (akses 26 April 2014).
Ayken, Faliq. “Gila Hormat.” http://kolibet.blogspot.com/2014/03/gila-hormat.html (akses 26 April 2014).
---------. “Ritual Tengah Malam.” http://kolibet.blogspot.com/2014/04/ritual-tengah-malam.html (akses 26 April 2014).
---------. “Tiga Jendela.” http://kolibet.blogspot.com/2014/02/tiga-jendela.html (akses 26 April 2014).
Budiawati, Yuni. “Langkahmu Ayah.” http://kolibet.blogspot.com/2014/03/langkahmu-ayah.html (akses 26 April 2014).
Darmojuwono, Setiawati. “Semantik,” Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, eds. Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Semantik. Bandung: Refika, 1999.
Palmer, F.R. Semantics: A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press, 1976.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Cet.13. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Primadeka, Oky. “Demam Rindu.” http://kolibet.blogspot.com/2014/04/demam-rindu.html (akses 26 April 2014).
Rahardjo, Mudjia. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Setiawan, Ebta. Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan. 2010-2013.
Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka, 2011.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra Rev.ed. Bandung: Angkasa, 2011. 
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi: Untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Waridah, Ernawati. EYD Ejaan yang Disempurnakan & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Cet.2. Bandung: Ruang Kata, 2013.
W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi Rev.ed. Bandung: Angkasa, 2012.

8 komentar:

Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejaknya dengan komentar.
Komentar berbau SARA akan diedit atau bahkan dihapus.
Indonesia damai itu indah. Salam bloger. :D

Diberdayakan oleh Blogger.