Header Ads

Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Struktur: Puisi Terikat, Puisi Bebas, dan Puisi Inkonvensional



Pada pertemuan sebelumnya kita telah membahas definisi puisi, hakikat puisi, perkembangan puisi Indonesia, dan jenis puisi Indonesia dilihat dari periodenya. Kali ini kita akan membahas jenis puisi Indonesia berdasarkan strukturnya. Kata struktur sendiri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan versi 1.5 menyebutkan bahwa struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan, bangunan; yang disusun dengan pola tertentu; atau dalam linguistik disebut pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis (linier). Sedangkan puisi merupakan karya sastra yang berupa gubahan atau rangkaian dalam bahasa yang dibentuk secara selektif, tertata, dan cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Setiawan, KBBI Luring, 2010-2013).

Definisi struktur di atas menggambarkan susunan atau bangunan yang disusun dengan pola tertentu. Sedangkan pengertian struktur dalam puisi tidak dapat diartikan sebagai rangka.
A.    Struktur Puisi

Pengertian struktur dalam puisi lebih luas daripada rangka dan juga terlalu luas apabila diartikan sebagai wujud penyampaian ide. Pada dasarnya, kekhususan hakikat puisi terlihat dari strukturnya yang memperhatikan konsentrasi dan intensifikasi. Dari konsentrasi ini seorang pencipta puisi berusaha menggabungkan isi pikiran, persoalan, kesan, dan semacamnya untuk dituangkan ke dalam puisi atau sajak. Konsentrasi dapat menghasilkan bentukan yang konkret dan abstrak. Sedangkan intensifikasi merupakan peralihan dan pencurahan emosional atau perasaan penyair menuju suasana yang puitis untuk dituangkan pada syair atau puisi. Intensifikasi hanya menghasilkan karya yang abstrak (Jalil, 1985: 13).
Selanjutnya, Jalil (1985: 26-27) menjelaskan struktur puisi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu abstrak dan konkret. Struktur puisi yang abstrak maksudnya adalah wujud puisi yang harus dilihat dari refleksi yang timbul pada diri si penikmat atau pembaca. Struktur abstrak ini seperti komunikasi, peranan dan fungsi puisi. Sedangkan struktur puisi yang konkret adalah wujud puisi yang dapat dilihat dari susunan yang membangunnya, seperti gaya bahasa dan musikalisasi puisi.

Adapun Hasanuddin WS yang mengutip Marjorie Boulton menjelaskan lebih detail tentang struktur puisi yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu struktur fisik dan struktur mental/batin (Hasanuddin, 2012: 28). Struktur fisik puisi digunakan oleh seorang pencipta atau penyair sebagai sarana untuk membangun puisi atau mengungkapkan hakikat puisi. Sarana tersebut meliputi hal-hal berikut:

a.    Kosakata.
Kosakata digunakan untuk mengungkapkan suatu maksud tertentu yang dianggap paling tepat untuk mewakili maksud yang ingin diucapkan atau disampaikan, karena banyak kata yang mengacu pada arti yang sama. Seorang pencipta atau penyair menggunakan kosakata puitis atau kosakata sehari-hari dalam membangun puisinya (Hasanuddin, 2012: 68). Bahkan, bisa saja pencipta atau penyair menggunakan kosakata daerah atau asing yang jarang digunakan di kehidupan sehari-hari. Sementara menurut Waluyo (2002: 9), kosakata digunakan untuk menggambarkan sesuatu secara lebih konkret agar penikmat tidak mengalami kesulitan ketika membaca atau menikmati puisi.

b.    Pemilihan kata atau diksi.
Dalam memilih kata ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu makna kias, lambang, dan persamaan bunyi atau rima (Waluyo, 2002: 3-8). Disadari atau tidak, banyak kata yang memiliki arti yang sama tapi kesan yang ditimbulkan bisa berbeda. Misalnya pemakaian kata ganti hamba, saya, dan aku. Ketiga kata ganti tersebut merujuk kepada kata ganti orang pertama tunggal, tapi dalam konteksnya ketiga kata tersebut berbeda. Kata Hamba memberikan kesan bahwa si penutur (pencipta atau penyair) memiliki strata sosial rendah atau rendah hati, kata saya menunjukkan bahwa si penutur memiliki strata sosial yang setara dengan mitra tutur (pembaca atau penikmat), dan aku memberikan kesan akrab antara si penutur dengan mitra tutur atau menunjukkan keindividualan yang tinggi dari si punutur. Jadi, seorang pencipta atau penyair memilih atau menyeleksi kata yang tepat sesuai dengan konteks isinya. Dan proses memilih kata setepat mungkin untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan, dan perasaan disebut diksi (Hasanuddin, 2012: 79-87).

c.    Pengimajian atau citraan.
Pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat memperjelas apa yang diungkapkan oleh pencipta atau penyair agar dapat dilihat (imaji visual), di dengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil) (Waluyo, 2002: 10). Mengutip dari Pradopo (1979: 42), pengimajian sebagai gambaran pikiran yang digunakan pencipta atau penyair untuk memperjelas atau memperkonkret ide-ide yang abstrak agar bisa ditangkap oleh indera si penikmat, sehingga menciptakan suasana kepuitisan. Menurutnya, pengimajian atau citraan  terdiri atas enam citraan, yaitu citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan penciuman (smell imagery), citraan rasaan (taste imagery), citraan rabaan (tactile imagery), dan citraan gerak (kinaesthetic imagery) (Hasanuddin, 2012: 88-104).

d.    Gaya Bahasa.
Jalil (1985: 31-33) membagi gaya bahasa menjadi empat yakni gaya bahasa perbandingan (meliputi personifikasi, asosiasi, simbolis, dan hiperbolis), gaya bahasa sindiran, gaya penyimpangan, dan gaya bahasa asli atau sebenarnya. Sementara menurut Hasanuddin (2012: 107), di dalam puisi sering terdapat bahasa bermajas atau figurative language. Bahasa bermajas adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan arti biasa untuk mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Majas yang sering dipergunakan penyair adalah perbandingan, personifikasi, metafora, dan hiperbol. Selain itu, ada juga bahasa retorika. Seni berbicara secara efektif disebut retorika. Bahasa retorika dalam puisi berupa muslihat pikiran atau keterampilan pemakaian bahasa secara efektif, tetapi kadang-kadang berkonotasi tidak jujur dan penuh dengan kata-kata yang muluk atau melangit. Penyair berusaha menciptakan unsur kepuitisan dengan memanfaatkan bahasa retorika seperti pleonasme/pemakaian kata yang lebih diperlukan, hiperbolis/dibesar-besarkan, tautolog/pengulangan gagasan, dan paralelisme/sejajar atau memiliki kemiripan (Hasanuddin, 2012: 115).

e.    Unsur bunyi.
Pegiat literasi biasa mendengar istilah rima dalam karya sastra puisi. Rima adalah persamaan bunyi dalam sajak atau puisi. Menurut Hasanuddin WS, unsur bunyi dalam puisi terbagi menjadi irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, serta anafora dan epifora.

1)    Irama
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Irama terbagi menjadi dua, ritme dan metrum. Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair.

2)    Kakafoni dan Efoni
Kakafoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam puisi dapat menimbulkan kesan yang buram atau tidak enak didengar. Efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam puisi dapat menimbulkan kesan yang cerah, lembut, mesra, bahagia atau enak didengar melalui suasana yang melingkupinya.

3)    Onomatope (tiruan bunyi) adalah pemakaian kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.

4)    Aliterasi adalah pengulangan bunyi yang sama.

5)    Asonansi adalah pemanfaatan bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak.

6)    Anafora dan epifora
Anafora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik sajak. Epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik sajak (Hasanuddin, 2012: 45-62).

f.    Tata wajah.
Tata wajah dalam sajak bisa disebut sebagai tipografi, yaitu proses peletakan atau pengelompokan huruf pada sajak, seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Banyak penyair yang mementingkan tata wajah, bahkan berusaha menciptakan puisi seperti gambar yang mewakili maksud tertentu (Waluyo, 2002: 13-14). Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

g.    Tatabahasa.
Bahasa puisi dan bahasa biasa sangat berbeda. Dalam bahasa biasa, tatabahasa diatur oleh sintaksis, yaitu pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, kata dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar dalam bahasa (Kridalaksana, 2009: 199). Dalam kepentingan tertentu penyair seringkali menggunakan bahasa dengan cara menyalahi ketentuan ketatabahasaan. Hal itu dilakukan bukan karena penyair lebih mengetahui aturan tatabahasa atau berusaha mengubah aturan tatabahasa, tapi untuk menimbulkan kesan dan efek puitis. Pelanggaran tatabahasa yang biasa dilakukan oleh penyair seperti menghilangkan imbuhan, pemendekan kata, serta penyimpakan struktur sintaksis (Hasanuddin, 2012: 115-116).

Selain struktur fisik, sarana untuk membangun dan mengungkapkan sajak atau puisi yang digunakan oleh penyair adalah struktur batin. Struktur batin dalam sajak atau puisi meliputi:

a.    Tema.
Tema adalah gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair melalui sajak atau puisinya. Pembaca atau penikmat puisi perlu mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi. Oleh karena itu, tema bersifat khusus, obyektif (pembaca sama persepsi), dan lugas. Tema-tema dalam puisi biasanya tentang ketuhanan atau religius, kemanusiaan, cinta, patriotism, perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, pendidikan, dan persahabatan atau kesetiakawanan (Waluyo, 2002: 17-31)

b.    Nada dan suasana.
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca sehingga tercipta suasana puisi. Penyair menyampaikan puisinya dengan nada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, memelas (belas kasih), takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor, cemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, sombong, dan lain-lain (Waluyo, 2002: 37)

c.    Rasa atau feeling.
Puisi atau sajak mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair dapat ditangkap jika puisi dibaca keras atau lantang atau deklamasi (Waluyo, 2002: 39).

d.    Amanat.
Amanat dalam puisi adalah pesan, nasihat, atau maksud yang disampaikan penyair sehingga menimbulkan kesan yang bisa ditangkap oleh pembaca atau penikmat setelah membaca puisi. Amanat puisi tergantung pada sikap dan pengalaman pembaca atau penikmat. Cara menyimpulkannya sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Amanat puisi juga tidak lepas dari tema dan isi puisi yang diungkapkan penyair (Waluyo, 2002: 40).

Berdasarkan struktur-struktur di atas, maka puisi terbagi menjadi tiga yaitu puisi terikat, puisi bebas, dan puisi inkonvensional.

B.    Puisi Terikat

Puisi terikat merupakan jenis puisi yang mengacu pada aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan tersebut seperti jumlah kata dalam satu baris, jumlah baris dalam satu bait, rima dan irama. Puisi terikat identik dengan puisi lama. Jenis-jenis puisi yang termasuk ke dalam puisi terikat adalah:

1.    Gurindam
Puisi nasihat yang terdiri dari dua baris dalam setiap baitnya, hubungan larik 1 dan 2 membentuk kalimat majemuk yang biasanya bersifat sebab akibat. Contoh “Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali Haji (Admin, www.rajaalihaji.com/id/works.php?a=SEovUnMvVw%3D%3D=, akses 9 Maret 2014):

GURINDAM DUA BELAS
Raja Ali Haji

Fasal 1
barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang makrifat

barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahri

barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya

barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat

Fasal 2
barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut

barang siapa meninggalkan sembahyang
seperti rumah tiada bertiang

barang siapa meninggalkan puasa
tidaklah mendapat dua termasa

barang siapa meninggalkan zakat
tiada hartanya beroleh berkat

barang siapa meninggalkan haji
tiadalah ia menyempurnakan janji

……. dst.

2.    Syair
Contoh syair: (Jalil, 47)

ABDUL MULUK
Berhentilah kisah raja Hindustan,
Tersebutlah suatu perkataan,
Abdul Hamid paduka Sultan,
Duduklah baginda bersuka-sukaan.

Abdul Muluk putra baginda,
Besarlah sudah bangsawan muda,
Cantik menjelis usulnya syahda,
Tiga belas tahun umurnya ada.

……dst.

3.    Pantun; seloka, talibun, karmina
Pantun adalah puisi yang memiliki ciri bersajak a-b-a-b, tiap bait terdiri atas 4 baris, tiap baris terdiri atas 8-12 suku kata, 2 baris awal berisi sebagai sampiran dan 2 baris berikutnya sebagai isi.
Contoh:
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati

Seloka adalah pantun berkait. Contohnya:
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak ‘kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan

Karmina adalah pantun kilat atau pantun pendek. Contoh:
Dahulu parang sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (b)

Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri atas 6, 8, ataupun 10 baris. Contoh:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu

4.    Distikon
Distikon sering disebut sajak dua seuntai, maksudnya terdiri atas dua baris dalam tiap baitnya.
Contohnya: (Hartono, walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014)
Berkali kita gagal
Ulangi lagi dan cari akal

Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
(Or. Mandank)

5.    Tersina
Tersina sering disebut sajak tiga seuntai, maksudnya terdiri atas tiga baris dalam tiap baitnya.
Contohnya: (Hartono, walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014)

BAGAIMANA
Kadang-kadang aku benci
Bahkan sampai aku maki
........ diriku sendiri

Seperti aku
menjadi seteru
........ diriku sendiri

Waktu itu
Aku ........
seperti seorang lain dari diriku

Aku tak puas
sebab itu aku menjadi buas
menjadi buas dan panas
(Or. Mandank)

6.    Quatrain
Quatrain adalah sajak empat seuntai yang tiap baitnya terdiri atas empat baris. Contohnya: (Hartono, walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014)

MENDATANG-DATANG JUA
Mendatang-datang jua
Kenangan lama lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)

7.    Quint
Quint adalah sajak lima seuntai yang tiap baitnya terdiri atas lima baris. Contohnya: (Hartono, walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014)

HANYA KEPADA TUAN
Satu-satu perasaan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya katakan
kepada Tuan
Yang pernah merasakan

Satu-satu kegelisahan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya kisahkan
kepada Tuan
Yang pernah di resah gelisahkan

Satu-satu desiran
Yang saya dengarkan
Hanya dapat saya syairkan
kepada Tuan
Yang pernah mendengarkan desiran

Satu-satu kenyataan
Yang saya didustakan
Hanya dapat saya nyatakan
kepada Tuan
Yang enggan merasakan
(Or. Mandank)

8.    Sekset
Sekset adalah sajak enam seuntai, tiap baitnya terdiri atas enam bari. Contohnya: (Hartono, walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014)

MERINDUKAN BAGIA
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Alam seperti dalam samadhi
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)

9.    Septima
Septima adalah sajak tujuh seuntai, tiap baitnya terdiri atas tujuh baris. Contohnya: (Hartono, walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014)

API UNGGUN
Diam tenang kami memandang
Api unggun menyala riang
Menjilat meloncat menari riang
Berkilat-kilat bersinar terang
Nyala api nampaknya curai
Hanya satu cita dicapai
Alam nan tinggi, sunyi, sepi
(Intojo)

10.    Oktaf
Oktaf adalah sajak delapan seuntai, maksudnya tiap bait terdiri atas delapan baris. Contohnya:
(Nesha, www.sman11mks.com/index.php?option=com_kunena&func=view&catid=26&id=245792&Itemid=100042, akses 9 Maret 2014)

AWAN
Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)
C.    Puisi Bebas

Puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan tertentu seperti rima, jumlah baris dalam bait, jumlah bait, atau jumlah suku kata (Setiawan, KBBI Luring, 2010-2013). Dalam puisi bebas, penyair mengungkapkan puisinya dengan tidak memperhatikan pola-pola dalam membangun puisi. Contohnya:

AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar, Kerikil Tajam)

SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka seriasau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisau sepisaupi
sepisaupanya sepikausepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji Calzoum Bachri)

MALAM SEBELUM BADAI
Serangga tidak berbunyi pada musim air membeku
dahan-dahan telanjang hitam permukaan sungai pecah
tajam itik-itik sore hari berenang di antara gugus
gugus putih suaranya riang namun aneh berkabutlah
pohon-pohon taman pohon hutan apabila kapas
terperinci bagai debu putih melayang berlayangan dari atas
yang tak jelas batas angin memutar ladang-ladang
jagung pada ujung-ujung atap tetes air mendapat
nyawa Kristal bergelantungan malam meniupkan sunyi
berat menekan batang-batang cemara membagi warna
warna putih pada semua permukaan yang ada cahaya
bangun pudar dalam segi-segi empat di atas bukit
kecil menyusun pesan bisu dimanakah tupai-tupai
itu serangga-serangga itu burung-burung flamingo
bersayap merah muda angsa-angsa berenang rata dirawa-rawa
(Taufiq Ismail, Sajak Ladang Jagung)

E.    Puisi Inkonvensional

Puisi inkonvensional ialah puisi yang tidak mengikuti aturan. Yang termasuk ke dalam puisi inkonvensional yaitu mantra, mbeling, dan puisi konkret. (Mainingrum, http://mainingrum.blogspot.com/2011/07/jenis-jenis-puisi-contohnya-puisi.html, akses 9 Maret 2014)

1.    Mantra

Mantra merupakan puisi tua. Mantra adalah susunan kata berunsur puisi seperti rima, irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yg lain. Beberapa macam mantra seperti: (Setiawan, KBBI Luring, 2010-2013).
•    Mantra kejahatan adalah mantra yang digunakan untuk perbuatan jahat.
•    Mantra keselamatan adalah mantra untuk menjaga diri dari bahaya.
•    Mantra penawar adalah mantra yang digunakan untuk pengobatan.
•    Mantra pitanggang adalah mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.
Contoh mantra penawar:
(Casico, http://chasimcasico.blogspot.com/2013/04/contoh-mantra-oleh-chasim-casico.html, akses 9 Maret 2014)
Nini ampeg-ampeg
Aki ampeg-ampeg
Ulah ampeg na hulu hate

Nini untang-untang
Aki untang-untang
Ulah muntang na birit bujal

Muntangna na birit wahangan
Waras nu ngajampe waras nu dijampe
Rep sirep

2.    Mbeling

Menurut Jeihan Sukmantoro, puisi mbeling adalah puisi yang membumikan persoalan secara konkret, langsung mengungkapkan gagasan kreatif ke inti makna tanpa pencanggihan bahasa (Berita Puisi, www.facebook.com/media/set/?set=a.425605814146798.97836.227048344002547&type=3#, akses 9 Maret 2014). Contohnya:

NELAYAN
Di tengah laut
Seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
Beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
Beta bikin layar

Tiba-tiba perahunya terguling

Akh,
Beta main-main
Tuhan sungguh-sungguh

(Jeihan Sukmantoro, 1974)

3.    Puisi konkret

Puisi konkret adalah puisi yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah yang disusun mirip dengan gambar. Di samping makna yang ingin disampaikan oleh penyair, ia juga memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang menyerupai gambar seperti segitiga, huruf Z, kerucut, piala, belah ketupat, segi empat, dan lain-lain. Puisi konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1970-an. Sutardji Calzoum Bachri termasuk pelopornya. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri banyak yang dapat dikategorikan puisi konkret, seperti puisinya yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” yang berbentuk zig-zag. (Elin, http://eliansucitiwaningtyas.blogspot.com/2011/09/puisi-konkret.html, akses 9 Maret 2014)

TRAGEDI WINKA DAN SIHKA
kawin
           kawin
                      kawin
                                kawin
                                           kawin
                                                     ka
                                               win
                                          ka
                                    win
                                ka
                           win
                       ka
                 win
             ka
       win
 ka
      winka
               winka
                         winka
                                  sihka
                                           sihka
                                                    sihka
                                                             sih
                                                         ka
                                                    sih
                                                 ka
                                            sih
                                         ka
                                   sih
                                ka
                            sih
                        ka
                            sih
                                 sih
                                      sih
                                           sih
                                                sih
                                                     sih
                                                          ka
                                                            Ku

                               (Sutardji Calzoum Bachri, 1983)


DAFTAR PUSTAKA

Hasanuddin WS. Membaca dan Menilai Sajak. Rev.ed. Bandung: Angkasa, 2012
Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, 1985
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik Rev.ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
SUMBER INTERNET

Admin, “Gurindam Dua Belas”. www.rajaalihaji.com/id/works.php?a=SEovUnMvVw%3D%3D= (akses 9 Maret 2014)
Casico, Chasim. “Contoh Mantra”. http://chasimcasico.blogspot.com/2013/04/contoh-mantra-oleh-chasim-casico.html (akses 9 Maret 2014)
Elin, “Puisi Konkret”. http://eliansucitiwaningtyas.blogspot.com/2011/09/puisi-konkret.html (akses 9 Maret 2014)
Hartono, Juni. “Puisi Baru (Jenis-jenis Puisi Baru).” http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html (akses 9 Maret 2014)
Mainingrum, Is Pratiwi. “Jenis-jenis Puisi”. http://mainingrum.blogspot.com/2011/07/jenis-jenis-puisi-contohnya-puisi.html (akses 9 Maret 2014)
Nesha, “Oktaf/Stanza”. www.sman11mks.com/index.php?option=com_kunena&func=view&catid=26&id=245792&Itemid=100042 (akses 9 Maret 2014)
Puisi, Berita. “Pengertian Puisi Mbeling”. www.facebook.com/media/set/?set=a.425605814146798.97836.227048344002547&type=3# (akses 9 Maret 2014)

Tidak ada komentar

Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejaknya dengan komentar.
Komentar berbau SARA akan diedit atau bahkan dihapus.
Indonesia damai itu indah. Salam bloger. :D

Diberdayakan oleh Blogger.