Sejumlah Aktivis Lingkungan dan Masyarakat Protes Pembangunan PLTA Tampur
Para Aktivis LSM Lingkungan dan Warga Aceh Tamiang memprotes pembangunan PLTA Tampur. (Foto: Herry Priskop) |
Jakarta – Para aktivis dan pakar lingkungan memprotes pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur yang telah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan di Kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues, dan Aceh Timur. Pasalnya, pembangunan PLTA yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu dinilai akan merusak habitat gajah Sumatera, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencaharian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang, serta adanya indikasi pelanggaran aturan.
Dalam paparannya, Riswan Zein, Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) menyampaikan bahwa proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan. Kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser.
“Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting untuk populasi gajah Sumatera. Koridor tersebut akan putus total karena topografi yang sangat terjal. Hal ini akan mendorong populasi ini ke arah kepunahan,” kata Riswan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Selain dampak ekologis, Riswan menambahkan beberapa risiko sosial dan bencana yang akan timbul akibat pembangunan PLTA. “Menurut dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) yang dikeluarkan oleh PT. KAMIRZU, luas genangan diperkirakan mencapai 4.090 Ha, dan untuk memenuhi genangan seluas area tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun. Sudah bisa dipastikan 50% desa yang berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang akan mengalami kekeringan hebat selama kurun waktu tersebut,” ungkap Riswan.
Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.
“Tercatat secara historis telah terjadi beberapa gempa besar, sekitar 6.0 SR di sekitar lokasi bendungan. Semakin tinggi bendungan menahan tekanan air dalam jumlah besar akan semakin berisiko untuk jebol dan membanjiri masyarakat yang hidup di hilir. Kita tentu tidak menginginkan bencana jebolnya bendungan yang terjadi di Laos pada bulan Juli 2018 lalu terjadi juga di Indonesia,” lanjut Riswan.
Selain itu, rencana pembangunan PLTA Tampur ini juga menuai polemik terkait proses perizinan. M. Fahmi, Tim Legal Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HakA) mengungkapkan bahwa izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang digunakan oleh PT. KAMIRZU dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri berdasarkan permohonan.
“Dalam aturan tersebut Menteri memang bisa memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial dengan luas paling banyak 5 (lima) hektar,” jelas M. Fahmi.
Sedangkan proyek ini ia memastikan bahwa kawasan kawasan hutan yang digunakan lebih dari lima hektar dan tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat non komersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
Masyarakat yang tinggal di hilir sungai Tamiang juga mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur ini. Rasa trauma pasca banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang beberapa tahun lalu masih dirasakan masyarakat.
“Kami masyarakat Tamiang merasa cemas karena kami trauma dengan kejadian banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang pada tahun 2006. Tinggi bendungan itu lebih dari 150 meter, kalau itu jebol bisa dibayangkan. Bukannya kami anti pembangunan, hanya saja jangan di situ, masih banyak tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana,” ungkap Matsum, salah satu warga Aceh Tamiang yang datang ke Jakarta. (her)
Lihat juga: https://www.priskop.com/sejumlah-aktivis-lingkungan-dan-masyarakat-protes-pembangunan-plta-tampur/
Post a Comment